Stranded in Aceh
7 Jan
I saw some students had been catch and treated like criminals in Siantar (http://www.tvone.co.id/index.php/cp/newsdetail/5631). Somehow I think it was another violence treatment for children. Don’t they ever think this behavior is not pure children delinquent but also because of boring learning methods implemented on our education systems?
I asked a friend about it. He said “yes, I hate going to school”. He told me that he would rather skip the class and watched some movies in his friend’s house than listened the teacher or read the text book.
How do you think?
Saat saya menonton televisi mengenai pelajar bolos sekolah yang ditangkap di kota Siantar http://www.tvone.co.id/index.php/cp/newsdetail/5631). Mereka mendapat perlakuan yang biasa diterima seorang penjahat criminal. Tiba-tiba saja saya merasa bahwa itu merupakan salah satu tindak kekerasan pada anak-anak. Apakah mereka pernah berpikir sebaliknya? Bisa jadi tindakan bolos sekolah ini karena sistem pendidikan yang membosankan.
Saya coba bertanya pendapat salah seorang teman saya. Dia dengan yakin menjawab “iya dan saya benci sekolah”. Dia bercerita bahwa dulu dia sering sekali bolos sekolah dan menonton film porno di rumah temannya. Sungguh lebih menarik nonton film porno daripada mengikuti pelajaran dengan metode membaca dan mendengar di dalam kelas.
Bagaimana menurut mu?
4 Responses for "Boring Method or Children Delinquent Behaviour?"
pop kamu gemukan banget yah? kitorang kitorang 😀
Surat Terbuka kepada Mendiknas:
Tolong! Anak Saya Bukan Anak Jenius!
Oleh Trisno S Sutanto
BAPAK Menteri yang terhormat. Saya telah me-layangkan surat ini ke
lembaga Bapak. Akan tetapi, mengingat surat ini ditulis bukan oleh
orang yang penting, melainkan dari rakyat jelata, dari seorang ayah
yang merasa prihatin melihat nasib pengajaran anaknya, besar
kemungkinan Bapak tidak akan menerima surat ini. Atau, kalau toh Bapak
menerimanya, besar pula kemungkinan Bapak tidak bersedia membacanya.
Karena alasan itulah, saya memutuskan untuk menjadikan surat ini
“surat terbuka” yang dapat dibaca oleh semua orang, khususnya para
ayah-ibu yang prihatin melihat hancurnya sistem pendidikan dan
pengajaran di sekolah-sekolah tempat anak mereka menimba ilmu. Sebab,
menurut saya, apa yang terjadi pada anak saya lebih kurang dapat juga
dirasakan pada anak-anak seusianya.
Bulan ini, jika tidak ada aral melintang, anak saya akan menghadapi
ujian kenaikan kelas. Kini ia kelas II di sebuah SLTP Katolik yang
cukup terpandang di daerah Jakarta Timur. Akan tetapi semenjak
dua-tiga bulan terakhir, kata “sekolah” dan “belajar” baginya telah
menjadi hantu yang sangat membebani pikiran dan perasaannya. Awal Mei
lalu, tepat pada “Hari Pendidikan Nasional”, misalnya, anak saya
menyatakan mogok pergi ke sekolah. Alasannya sederhana: “Aku benci
sekolah!” Sebagai orangtua, saya memang dapat memaksa agar dia tetap
pergi ke sekolah. Namun, menurut saya, model pemaksaan seperti itu
tidak akan memecahkan persoalan. Jadi saya membiarkan ia tidak pergi
ke sekolah, dan menjadikan hari itu sebagai kesempatan untuk
mendiskusikan alasan-alasan ia mogok bersekolah.
Hasilnya sudah dapat diduga, akan tetapi tetap mengejutkan bagi saya
sebagai orangtua. Pertama-tama dia berkeluh kesah tentang begitu
banyak mata pelajaran yang harus dia telan mentah-mentah, tanpa dia
tahu untuk apa dan mengapa dia harus menelannya. Kata “telan
mentah-mentah” sengaja saya pilih, karena hanya itulah padanan yang
paling tepat bagi system pengajaran yang (masih terus) mengandalkan
pada “hafalan mati” – walau pun sudah begitu banyak kritik pedas
ditujukan pada sistem seperti itu.
Standar Kurikulum
Memang benar, dewasa ini orang berbicara tentang KBK (Kurikulum
Berbasis Kompetensi) dan “otonomi khusus” masing-masing sekolah. Akan
tetapi, pada praktiknya, tetap saja setiap sekolah akan berusaha
memenuhi standar kurikulum yang dibuat Depdiknas, agar tidak dinilai
“ketinggalan” dari sekolah-sekolah “favorit”. Apalagi, dalam sistem
KBK, faktor pendidikan guru sebagai “fasilitator” (perhatikan: bukan
sebagai guru tradisional, sumber-segala-sumber ilmu pengetahuan!) akan
sangat menentukan. KBK mengasumsikan tersedianya sumber-sumber ilmu
pengetahuan yang terbuka, seperti internet, fasilitas perpustakaan,
lingkungan yang memadai, dan seterusnya, serta kemampuan guru mengolah
mata pelajaran tanpa harus membebek pada standar kurikulum. Kedua
asumsi itu, pada praktiknya, merupakan kemewahan yang tidak dimiliki
oleh sekolah-sekolah pada umumnya. Alhasil, sistem “telan
mentah-mentah” kembali merajalela. Mari saya beri contoh konkret.
Seorang siswa SLTP di Jakarta, seperti anak saya, paling tidak harus
“menelan” 16 mata pelajaran (mata pelajaran umum, ilmiah, dan khas
daerah), mulai dari Agama, PPKN, Fisika, Ekonomi sampai Komputer dan
PLKJ (Pendidikan Lingkungan Kehidupan Jakarta – untuk siswa di
Jakarta). Itu berarti, setiap siswa harus “menelan mentah-mentah”
setidaknya 15 buku – saya mengasumsikan Matematika tidak menghafal! –
untuk menghadapi ujian kenaikan kelas. Masalah lain yang disinggung
anak saya, bukan saja jumlah mata pelajarannya sangat banyak, tetapi
juga kandungan masing-masing mata pelajaran sangat rinci, dan karena
itu terlalu berat bagi seorang siswa SLTP kelas II. Ini mudah
dicermati jika Bapak Menteri sempat memeriksa buku-ajar standar yang
dipakai di sekolah-sekolah kita. Mungkin Bapak Menteri tidak memiliki
waktu cukup untuk memeriksa dengan cermat isi buku-ajar itu. Jadi,
izinkan saya memberi contoh yang saya petik secara acak dari buku-ajar
anak saya.
Untuk mata pelajaran ekonomi, seorang siswa SLTP kelas II diharapkan
mampu memahami mulai dari koperasi sampai pembangunan nasional. Dan,
masing-masing subjek bahasan diurai dalam rincian yang hanya dapat
dipahami oleh mereka yang kuliah ekonomi di perguruan tinggi.
Misalnya, subjek bahasan koperasi, dirinci mulai dari pengertian,
asas, landasan (idiil, struktural, mental, operasional), fungsi dan
peran, macam-macam kegiatan dan jenis, sampai segala peraturan yang
terkait! Dan, subjek pembangunan nasional dirinci sejak kegiatan
negara dalam kehidupan ekonomi (seluruh aspek budgeter, APBN-APBD,
jenis-jenis pajak, bagaimana menghitung pajak, dan peraturan yang
terkait) sampai tahap-tahap pembangunan jangka panjang (Pelita I
sampai Reformasi). Hal yang sama juga terjadi dalam mata pelajaran
lain. Ambil contoh buku-ajar biologi untuk SLTP kelas II. Siswa
diharapkan memahami mulai dari sistem pencernaan (manusia dan hewan),
sistem pernafasan (manusia dan hewan), sistem transportasi (manusia
dan hewan), sistem saraf, sistem indera, dan seterusnya.
Lagi-lagi, masing-masing subjek bahasan diberi rincian yang luar biasa
mendalam: siswa SLTP kelas II harus memahami perbedaan antara
Diapedesis dengan Fibrinogen, gambar penampang kulit lengkap (Anda
tahu Globmerulus dan di mana letak Kapsul Bowman?), gambar hubungan
antarsel saraf (mana bagian Akson, Dendrit, Vesikel Sinapsis?), dan
seterusnya. Karena itu, tidak heran jika seorang dosen biologi di
sebuah universitas berkomentar, “Kalau SLTP sudah sejauh ini, apa lagi
yang perlu diajarkan di Universitas?”
Perlukah saya menunjukkan materi PLKJ, mata pelajaran khusus untuk
siswa yang (kebetulan) tinggal di Jakarta, kepada Bapak Menteri?
Seorang siswa SLTP kelas II di Jakarta harus menghafal mati
pasal-pasal mana dalam KUHP yang dipakai untuk menghukum “perkelahian
pelajar secara per orangan yang mengakibatkan satu pihak luka atau
mati”, pasal-pasal mana untuk “perkelahian pelajar secara
berkelompok”, dan pasal-pasal mana yang dipakai jika “pelajar
menyerang guru”!
Juga, jangan lupa, pasal-pasal KUHP mana yang dipakai jika “pelajar
mabuk-mabukan, minum-minuman keras”, atau jika terjadi “pemerasan oleh
pelajar”, atau “pencurian di kalangan pelajar”, atau “pelajar membawa
senjata api atau senjata tajam”…
Bapak Menteri yang terhormat. Sengaja saya menguraikan secara rinci
beban mata pelajaran yang harus ditanggung anak saya setiap hari saat
ia pergi ke sekolah, dan khususnya saat ia menghadapi ujian kenaikan
kelas. Menurut saya, hanya anak jenius saja yang mampu menanggung
semua beban itu tanpa masalah berarti. Dan, saya harus akui dengan
jujur, anak saya bukan anak yang jenius, seperti juga anak-anak pada
umumnya.
Jumlah mata pelajaran yang begitu banyak, dan kandungan informasi yang
sangat padat tanpa memperhitungkan kesiapan mental maupun kognitif
anak sesuai tahap-tahap perkembangannya, membuat guru tidak memiliki
cara lain kecuali kembali pada sistem kuno: Telan Mentah-mentah!
Jangan Tanya, Hafal Saja! Itu pula yang dituntut oleh soal-soal
ulangan umum. Mungkin di permukaan, cara itu kelihatannya berhasil.
Tetapi, jika dipandang dari sudut pendidikan, sesungguhnya kita telah
gagal total! Kita telah ikut berpartisipasi menjadikan kata “sekolah”
dan “belajar” momok yang sangat menakutkan bagi anak-anak didik –
mereka yang akan menggantikan kita di masa depan.
Seorang teman anak saya bahkan hampir bunuh diri, karena frustrasi
menghafal mata pelajaran Biologi. Saya tidak mau peristiwa itu terjadi
pada anak saya. Karena itu, Bapak Menteri, tolonglah! Anak saya bukan
anak jenius! Dan jutaan anak Indonesia juga bukan anak jenius!
Penulis adalah Direktur Eksekutif MADIA (Masyarakat
Dialog Antar Agama),
Jakarta
Semua Anak Jenius…
Anak Jenius, sering kita mengamati seorang anak kecil, dan mengagumi kenyataan bahwa mereka belajar pada ”kecepatan cahaya”. Kecepatan belajar anak-anak sangat menakjubkan. Kemampuan luar biasa mereka untuk mengulangi apa yang mereka deng…
semua anak itu jenius. Mereka ingin tahu dan mencari pelajaran untuk belajar non stop. Mereka belajar dengan cepat. Mereka menggunakan apa yang telah mereka pelajari segera. Mereka kreatif dan mampu muncul dengan ide-ide baru, solusi baru dan kreasi baru.
Leave a reply